Dunia tulis-menulis baru aku tekuni belakangan ini, termotivasi oleh keinginan sendiri serta dukungan teman-teman agar aku sering-sering menuangkan pikiranku dalam tulisan. Sejak SD hingga sekarang aku terobsesi untuk menjadi seorang penulis, entah cerpen ataupun novel. Cenderung untuk menulis hal-hal yang fiksi karena aku sangat suka membaca cerita fiksi. Dulu sering kali pikiranku melayang, berimajinasi menciptakan sebuah cerita yang penuh dengan hal-hal keindahan, hal-hal yang mungkin saja mustahil terjadi di kehidupan nyata seperti saat ini. Meskipun sebenarnya aku tau bahwa ceritaku sebuah kemustahilan, tetap saja aku kembangkan cerita itu dalam pikiranku. Tak perduli apakah akan benar terjadi atau tidak. Sayangnya cerita itu hanya berkembang di otakku saja, tak pernah bisa aku tuangkan dalam kata-kata ataupun tulisan, saat itu aku benar-benar tidak tau bagaimana caranya membuat cerita dalam rangkaian kata yang harus aku tuliskan, maklumlah saat itu aku masih SD.
Saat menginjak bangku SMP, aku mulai mengenal cerita-cerita fiksi berbau cinta dan misteri. Aku tak terlalu suka cerita fiksi misteri, aku rasa cerita misteri terlalu dibuat-buat, mungkin seperti imajinasiku saat SD dulu, sesuatu yang sebenarnya mustahil dituangkan dalam tulisan dan dibuat seolah nyata. Tapi saat aku menginjak kelas tiga SMP, aku juga mulai suka cerita misteri, meskipun tak semua. Aku cenderung memilih cerita misteri yang berbobot dan tidak hanya menceritakan soal hantu atau cerita mistis lainnya yang menurutku terlalu mengada-ada. Saat itu aku punya seorang teman yang memilki kesukaan yang sama denganku, yakni membaca novel atau cerpen, serta menulis cerita fiksi. Disitulah aku mulai menulis meskipun gaya penulisannya masih sangat natural, terlihat seperti tulisan orang yang curhat. Sebuah cerpen yang didominasi oleh dialog antar tokoh tanpa ada narasi. Sebenarnya sih ada, tapi hanya berfungsi untuk menjelaskan tempat, waktu serta pergantian cerita dengan singkat. Namanya juga pemula, tak menjadi masalah, yang penting aku sudah bisa mulai menuangkan cerita itu dalam rangkaian kata dan tulisan, meskipun hanya tulisan tangan. Aku juga mulai kenal dengan novel Harry Potter yang membuatku semakin suka membaca cerita-cerita fiksi. Dalam hal tulisan, aku masih belum terlalu konsisten melakukannya, berbeda dengan kebiasaanku membaca yang menjadi rutinitasku. Hampir setiap minggu aku melahap satu sampai tiga buku, baik novel Indonesia atau terjemahan.
Rutinitas itu berlanjut hingga SMA, aku terus mengasah kebiasaanku dalam menulis, mengikuti cara penulisan dari berbagai cerita yang aku baca. Sampai ketika aku kelas dua SMA, aku mempunyai teman sekelas yang lagi-lagi memiliki kesukaan yang sama denganku yakni menulis cerpen atau novel. Dia telah berhasil menghasilkan satu novel karyanya, memang belum dicetak sih, masih dalam proses pengajuan ke penerbit. Tapi menurutku itu sebuah karya yang patut di acungi jempol bagi seorang pemula. Alhasil, dengan banyak ngobrol dengannya masalah menulis cerita serta berdiskusi tentang plot tulisannya, aku mulai giat menulis. Sedikit demi sedikit mulai menghasilkan cerpen atau kisah-kisah yang masih aku tulis rangkumannya untuk akhirnya aku kembangkan menjadi novel. Tiga tahun aku berusaha untuk membuat cerpen ataupun novel, entahlah ada berapa hasilnya karena beberapa karyaku itu hilang entah kemana. Maklumlah, cerita-cerita itu aku tulis di berbagai lembar kertas atau buku dan terlalu sering tidak aku perhatikan dimana penyimpanannya. Hingga aku tiba di saat jenuh mulai menggerogoti.
Masa akhir SMA yang membuatku sibuk belajar untuk persiapan UN dan masuk perguruan tinggi, meskipun saat itu aku sudah cukup tenang karena aku sudah diterima di perguruan tinggi lewat jalur masuk tanpa tes, yakni USMI Institut Pertanian Bogor. Entahlah saat itu aku benar-benar kehilangan cara merangkaikan kata-kata dalam tulisan, meskipun sebenarnya imajinasiku masih terus berkembang. Begitu banyak ide cerita yang berkeliaran di otakku, tapi sangat sulit untuk memulai rangkaian kalimat itu menjadi sebuah kisah cerita. Dan sejak saat itu, tanganku mandul untuk menulis.
Ketika sudah mulai memasuki aktivitas kuliah, aku bertemu dengan seorang teman. Dia juga suka menulis, tapi bedanya dia tak terlalu suka menulis cerita fiksi. Dia biasanya menuliskan berbagai pengalamannya dan lalu diposting di blog miliknya. Sebuah kebiasaan yang belum aku kenal sebelumnya. Dia tak hanya menuliskan pengalamannya saja, tetapi juga pemikirannya. Tulisannya menurutku sangatlah berbobot dan tentu saja aku suka. Aku mulai sering membuka blognya dan membaca isinya. Bukan hanya blog miliknya, tetapi juga beberapa blog milik temannya yang juga sangat bagus. Gaya penulisannya yang khas, simpel, to the point, dan dengan bahasa yang mudah dimengerti membuatku ketagihan untuk membacanya karena bisa menambah banyak pengetahuan bagiku. Aku pun akhirnya mulai belajar menulis seperti temanku itu, menulis non-fiksi. Berkali-kali mencoba, tapi aku merasa tulisanku masih terlalu monoton dan gaya penulisanku masih terlalu datar. Butuh begitu banyak ilmu dan proses belajar untuk bisa seperti mereka yang sudah terbiasa menulis. Aku juga kembali menekuni tulis-menulis cerita fiksi meskipun tersendat-sendat karna kendala pengembangan cerita dan kebingungan bagaimana aku harus menuangkan ide-ide cerita itu dalam rangkaian kalimat. Maklumlah, lumayan lama aku tidak menulis fiksi. Kendala yang lain tentu saja kuliah dan kesibukanku yang lainnya sebagai mahasiswa.
Blog yang sudah lama aku buat tapi jarang sekali aku gunakan, akhirnya aku buka dan aku perbaiki konten-kontennya dengan bantuan Annisa, temanku. Maklumlah, aku agak gaptek masalah blog, internet, dan semacamnya. Aku mulai memposting tulisan-tulisanku yang waktu itu hanya beberapa, tentang pengalamanku juga beberapa puisi yang menurutku asal tulis karna puisi yang aku tulis itu sebenarnya adalah curhatanku semata. Jadi apa yang keluar dari hati dan otakku langsung aku tulis aja, tak memandang bahwa kata-katanya bagus atau jelek, nyambung atau tidak. :p
Di suatu moment aku bertemu dengan seorang penulis terkenal, aku bertemu dengan mbak Asma Nadia. Termotivasi kata-kata mbak Asma waktu itu “Seseorang tidak akan pernah menghasilkan suatu karya atau cerita jika tidak memulainya. Memulai untuk menuangkan ide dalam tulisan itu memang tahap yang paling sulit dalam menulis, tapi ketika kamu bisa melewati tahap itu, maka kamu akan terus bisa menuangkan imajinasi kamu dalam tulisan hingga akhirnya kamu berhasil menciptakan sebuah cerita, sebuah karya. Maka mulailah untuk menulis, jangan ragu-ragu, tuangkan semua yang ada dalam otak kamu dan jangan lupa untuk terus belajar menjadi lebih baik.” Sejak saat itulah aku mulai menulis cerita fiksi dengan lebih intens lagi, meneruskan beberapa cerita yang sebelumnya terbengkalai dan mati suri.
The Power of Kepepet. mungkin sebutan paling tepat untuk melatarbelakangi lahirnya dua cerpenku. Saat itu ada lomba cerpen dari event Ekspresi Muslimah yang diadakan oleh keputrian LDK Al-Hurriyah dan LDF IPB. Batas pengumpulan cerpen adalah esok harinya, sedangkan aku masih belum mulai menulis apa-apa, selain itu aku juga lupa dengan persyaratan lomba, yang ku ingat hanya sebatas tema yakni persahabatan. Bodohnya aku tidak menanyakan pada teman yang jadi panitia event tersebut, langsung saja mulai menuangkan ide cerita. Berbekal laptop pinjaman pada teman sekamar, semalaman aku mengerjakan proyek cerpen dadakan itu hingga selesai. Yups teman-teman, selesai dalam satu malam saja. Ini merupakan rekor baru untukku karena sebelumnya tak pernah menyelesaikan cerpen dalam waktu satu malam, biasanya sampai tiga hari mengerjakannya, itu pun kalau tidak terkendala malas untuk melanjutkannya. Keesokan harinya, ketika aku berniat untuk mencetak cerpen tersebut, aku menemukan selembar leaflet yang berisikan persyaratan lomba cerpen tersebut. Disitu tertulis bahwa cerpen maksimal lima halaman dengan spasi 1,5 serta font Arial de el el. Semangatku langsung hilang seketika karena cerpenku jauh dari memenuhi persyaratan itu. Cerpenku bahkan ada sepuluh halaman dengan font TNR, bingung juga kalau harus menghilangkan lima halaman sisanya dengan font Arial yang yang besar. Merasa gagal ikut lomba, aku tak merasa kecewa karena meskipun gagal, aku telah membuat cerpen dalam waktu yang singkat. Setidaknya itu rekor bagi diriku sendiri. J Aku pun akhirnya mem-posting cerpenku itu ke blog, iseng-iseng juga aku posting sebagai catatan di FB. Lumayanlah, setidaknya mungkin cerpen itu bisa dinikmati orang lain. Apalagi terdapat komentar-komentar positif yang mengatakan bahwa cerpenku bagus. Senangnya hatiku… :)
2 komentar:
Ihhh Yuli,, sekarang serius nulis yah,, :)
Smangat!! smangat!! Aku ngga ketinggalan beritamu kan...
hua..... ada Ulin ternyata.... :)
lagi mencoba jadi bloggers neh semenjak ikut lomba blog...
yah,namanya juga berkarya,gak boleh ada berhentinya dong.... :)
Posting Komentar