Rabu, 27 Juli 2011

ketika Ramadhan tiba...


Ramadhan telah tiba kembali setelah sekian lama kami nantikan. Siapa yng tak menantkan bulan penuh berkh ini? Siapa yang tak mengharapkan ampunan pada bulan ini? Siapa pula yang tak mengharapkan kebahagian dan kesejahteraan di bulan ini? Jawabannya tak ada. Setiap muslim pasti mengharapkan kehadiran bulan yang penuh dengan makrifat ini.
Tak terkecuali mereka. Yah mereka yang tinggal daerah terpencil, mereka yang tinggal di pinggiran sungai bahkan kali, hingga mereka yang di bawah jembatan. Mereka bahagia menyambut datagnya ramadhan. Tetapi yang aneh adalah beberapa dari mereka bukan bahagia karena akan melaksanakan ibadah puasa. Sebagian dari mereka bahagia karena akan begitu banyak dermawan yang membagikan rezeki pada mereka. Karna tak bisa di pungkiri ketika ramadhan tiba, semua orang yang berkecukupan tiba-tiba menjadi seorang yang dermawan bahkan terlalu dermawan.
Ironis. Mereka bahagia karena mereka menunggu uluran tangan sang dermawan untuk membagikan zakat daripada menjalankan puasa yang penuh dengan pahala. Mereka bersiap menyusuri jalan-jalan hendak mencari para dermawan yang akan menggelontorkan sebagian hartanya, dikata sih zakat, tapi malah terkesan jadi pamer.
Setiap tahunnya ketika ramadhan tiba, banyak yang mengulurkan tangan membagikan zakat, tapi ternyata semakin banyak pula mustahiq yang mengulurkan tangan mereka untuk menerima. Mustahiq-mustahiq itu, tidaklah semakin sedikit, malah semakin banyak tiap tahunnya.
Inikah fungsi zakat? Aku rasa bukan.
Bukankah zakat untuk menyejaterakan mereka yang tak berkecukupan, tapi kenapa malah semakin banyak aja yang tak berkecukupan?
Bukankah zakat untuk menyucikan harta mereka yang berkecukupan, tai kenapa malah beberapa dari mereka yang berkecukupan menjadi semakin bejat dan rakus akan harta?
Negeri yang aneh memang.
Tapi bukankah menjadi tugas kita yang harus meluruskn keanehan ini?
Yah, ini memamng tugas kita.
Tugas kita sebagai generasi peubah bangsa.
Menguah bangsa menjadi lebih baik lagi.
Semoga.
Yuli Astutik
27 Juli 2011
Dalam Tapak Batas Cakrawala Biru

Minggu, 10 Juli 2011

Catatan Renungan Ku

Tua itu adalah sebuah kepastian, namun kedewasaan itu merupakan sebuah pilihan.
Sering aku dengar kalimat itu di lontarkan, oleh para motivator, para dosen, murobbi, dan juga sahabat-sahabatku. Nyatanya,usia memang tak bisa dijadikan patokan kedewasaan seseorang karena ketika tua seseorang seolah kembali menjadi seperti anak-anak. Dan mereka yang masih belum cukup umur, bisa bersikap dewasa melebihi orang-orang yang usianya jauh lebih tua darinya. Banyak yang juga bilang zaman sudah berubah, anak kecil menjadi sok dewasa karena mode dan tata cara pergaulan yang telah bergeser dari adab yang seharusnya. Tapi kali ini aku tidak ingin membicarakan masalah perubahan zaman dan pergeseran adab itu. Kini aku ingin mengungkapkan bagaimana diriku sendiri. Mengungkapkan semua yang aku jalani, yang aku hadapi, dan yang aku lakukan hingga saat ini. Yah, hingga di usiaku yang ke-20 saat ini.
Dua puluh tahun sudah aku hidup di dunia ini sejak aku di lahirkan oleh Emakku tercinta, Ibunda Hasirah, 10 Juli 1991 lalu. Beliau bersama Eppa’ tercinta Abd Karim senantiasa merawatku dengan baik, perhatian, serta penuh kasih sayang. Begitu banyak yang telah mereka berikan padaku, dengan segala kesederhanaannya, serba pas-pasan, mereka membimbingku untuk terus melanjutkan sekolah. Meskipun mereka hanya mengecap bangku SD, mereka ingin aku terus melanjutkan hingga menjadi seorang sarjana yang hebat, tapi hingga kini aku masih belum bisa memberikan apa-apa untuk mereka.Tak ada suatu yang patut dibanggakan dariku. Aku masih menjadi seseorang yang biasa saja di mata orang lain.Dan aku pun belum bisa menjadi seseorang yang mereka inginkan. Tapi aku yakin suatu saat nanti, aku akan memberikan yang terbaik bagi mereka. Kebanggan yang takkan pernah mereka lupakan,meskipun aku belum tahu kapan harapan itu akan terwujud.
Masa-masa sekolah aku jalani, dari SD di SDN Kangenan 2 Pamekasan hingga kini aku di Institut Pertanian Bogor (IPB).Saat ingin melanjutkan kuliah di IPB sempat orang meragukan bahkan tak percaya bahwa aku dengan begitu mudahnya masuk IPB dengan tanpa biaya sepeserpun, tapi tak pernah aku ambil pusing.Ini jalanku yang telah digariskan oleh-Nya, tak ada urusan dengan anggapan orang lain, itu pikiranku dulu. IPB memang bukanlah impianku, karena sejak SMP dulu aku ingin masuk Teknik Elektro ITS.Tapi begitu masuk SMA, impian itu menghilang dengan sendirinya. Terlalu banyak yang aku inginkan saat itu, bimbang memilih universitas yang akan aku tuju, juga bingung apakah kedua orang tuaku sanggup membiayai kuliahku nanti. Sempat terbersit hatiku untuk memilih Jurusan Akuntansi di UNIBRAW atau UNAIR, tapi kembali aku bingung, aku tak bisa ikut jalur tanpa tes karena aku di jurusan IPA saat itu. Allah memang sutradara terbaik yang selalu ku percaya, Ia mengantarkanku ke Manajemen IPB dengan beasiswa sudah di tangan, bahkan sebelum aku bergelar sebagai mahasiswa. Skenario Allah memang lebih indah dari apa yang klita bayangkan.
Tentunya di IPB inilah aku menemukan sosok dewasa itu.sosok yang begitu menyenangkan, membuatku senantiasa tersenyum, meskipun terkadang juga membuatku meneteskan air mata. Saat itu masih sembilan belas tahun usiaku, lebih tua dari teman-teman yang rata-rata masih berumur delapan belas atau bahkan tujuh belas tahun.Terbersit sesaat rasa minder menjadi bagian minoritas yakni lebih tua. Tapi apalah artinya usia, hal itu bukanlah menjadi masalah. Setahun aku jalani, aku seolah menemukan makna dari kedewasaan yang sebenarnya.Aku bertemu dengan Annisa Sophia atau biasa dipanggil “Nisoph”, usianya setahun empat bulan di bawahku. Tapi aku sangat kagum padanya, dia bisa menjadi sangat bijaksana dalam menyikapi suatu masalah, suatu bukti akan kedewasaannya. Dia selalu bisa tersenyum, bahkan di saat ia sedang sedih sekalipun. Tujuannya hanya agar saudara-saudaranya merasakan bahagia saat bertemu dengannya.Dia pernah menangis di depanku, tapi itu hanya sebentar, hanya untuk meluapkan emosi yang sudah membuncah. Sesaat kemudian ia bisa kembali tersenyum. Annisa adalah contoh wanita yang Insya Allah shalihah karna ia tak pernah melalaikan Tuhannya serta keluarga dan para sahabatnya. Ia selalu bertindak dan bersikap sesuai dengan koridor yang seharusnya. Itulah ciri kedewasaan yang aku temukan padanya, tapi belum aku temukan pada diriku sendiri.Kadang aku iri pada kebijaksanaannya yang belum mampu aku terapkan dalam keseharianku, pada kebersahajaannya pada setiap orang sedangkan aku masih dengan sikap egois dan ketaksabaranku.Tapi, Annisa selau berkata, “Jangan bilang tidak bisa, suatu saat Yuli pasti bisa.”Annisa, kau adik yang sudah seperti kakakku, Uhibbukin Fillah Ukhti.
Masih ku temukan di IPB, tepatnya di Asrama TPB IPB tercinta yang telah selama setahun ini aku tempati.Dia adalah Senior Resident bernama Ita Nita Amaliya.Beliau lebih tua dariku setahun, tapi masalah kedewasaan tak perlu di tanyakan. Ammah Ita biasa aku memanggilnya adalah orang yang sangat baik hati. Ia pun sangat bijaksana mengahadapi adik-adik lorongnya yang begitu, yah taulah seperti apa. Dia seolah menjadi pengganti ibuku di asrama, tapi dia juga bisa jadi kakak dan sahabat yang baik untuk aku ajak mengobrol seputar permasalahanku di kampus. Yah meskipun tak semuanya, karena aku lebih sering memendam masalah dari orang lain. Tak jauh-jauh, masih di asrama dan juga Senior Resident di Rusunawa.Namanya Intan Islamiah Mavirlian. Ammah Intan adalah mahasiswa angkatan 45 seperti Ammah Ita, bedanya Ia jauh lebih muda dari Ammah Ita, tiga tahun di bawah ammah Ita yang berarti dua tahun di bawahku. Namun dia sudah menjadi kakak kelas dua tingkat di atasku.Yang aku kagumi darinya adalah dia bisa bersikap jauh lebih dewasa dariku di saat dan tempat yang tepat. Dia juga bisa bersikap jauh kebih kekanak-kanakan dariku saat ia jenuh dengan berbagai kesibukannya. Dalam hati aku sering berkata, ammahku yang satu ini, kadang-kadang kayak bocah juga. –peace ammah, J-Dewasa memang tak memandang usia.
Masih banyak figur-figur dewasa di sekitarku, Kamilatussyafiqoh (Ibu Lurahku tersayang dengan seyuman mungilnya), Sahesti Fitria (teman seperjuangan RT lorong 3), Anita Julaikha (Saudariku terkasih yang selalu menemani saat berjuang di Liqo’ mingguan, J), Sarah Ayu A (Saudariku dengan anu-nya yg kocak), Nailatul Karomah (Ibu ketua Demush A4 yang selalu aku tegur gara-gara gigitin kuku mulu :p), Tatar, Melly, dan Venty (Teman sekamar 308 yang rame, tapi sekarang gak bisa sekamar lagi, aku kangen kalian L), Indah Tri Riantika (GDA A4 yang super sibuk tapi masih selalu tersenyum), Suwarti (Lurah A2 n Kadiv Humas FP yang mantap tegasnya :D), serta yang lainnya yang tak bisa ku sebutkan satu persatu. Oia satu lagi, Bu Nur Hepsanti Hasanah yang selalu Happy (Lurah A1 & rumah sejahtera, serta Sekdiv KPK yang saat ini seolah jadi soulmateku, kemana aja bareng mulu :D).
Dari tadi aku menceritakan mereka yang bisa menunjukkan sikap dewasa. Aku belum menceritakan mereka-mereka yang meskipun umurnya sama sepertiku atau seperti orang yang aku ceritakan tadi, bersikap childish atau kekanak-kanakan serta tak menunjukkan kedewasaan.Sebagian aku kenal, namun tak perlulah aku sebutkan namanya, tak perlu aku ceritakan secara rinci.Yang pasti mereka ada dan aku juga mengenal mereka.Bahkan mungkin, aku masih salah satu dari mereka menurut penilaianku.
Setahun bersama mereka (yang selalu bersikap dewasa.red), aku mulai untuk merubah diriku sendiri untuk bisa bersikap lebih bijak dalam mengarungi bahtera kehidupan (udah kayak pernikahan aja, :p). memang belum bisa seperti mereka, karna aku memang tak ingin menjadi orang lain. Aku ingin tetap menjadi diriku sendiri, apa adanya, sesuai dengan keinginan hatiku. Tapi disinilah ternyata kedewasaanku seolah tertahan untuk tumbuh dalam jiwaku.Aku masih bersifat egois dan mau menang sendiri.Annisa bilang aku adalah orang yang koleris.Mungkin itu benar, tapi aku bukanlah seorang pemimpin yang baik.Aku masih menjadi seorang yang melankolis ketika aku sendiri. Dengan mudahnya aku akan menangis ketika menghadapi sebuah masalah kecil, untuk meluapkan semua kekesalan dan kesedihan yang melanda hati, ketika aku sendiri.
Aku masih dengan segala sifat burukku.Ceroboh dalam melakukan apapun.Terlalu sering menunda untuk melakukan sesuatu hanya karna alasan malas, juga melakukan suatu hal setengah-setengah, tak pernah bisa memberikan yang terbaik.Bertindak tanpa pikir panjang.Dan mungkin selalu merasa benar, tak mau di salahkan. Kedisiplinan yang masih sangat sangat tidak disiplin menurutku. Ya inilah aku yang belum bisa berpikir dewasa, tak seperti umurku yang orang bilang sudah dewasa.
Setahun sudah aku menjadi seorang mahasiswa dan hidup jauh dari orang tua, dalam setahun itu aku bertemu dengan orang hebat yang mengajarkanku makna kedewasaan.Setahun itu hanya sebagian, karna sembilas tahun sebelumnya pun aku juga bertemu bayak karakter manusia.Karakter-karakter yang begitu berbeda yang membuatku mengerti makna dan tujuan kehidupan.
Terima kasih untuk sahabat sahabat ku semasa SMA s.d. sekarang : Atin Hasanah (my best friend forever), Anis Masruroh (aku kangen kamu say? Lama tak jumpa L), anak2 RC(Ana Khairunnisa, Oning Nastiti, Mannan, Risal, Mz Dadang, Mz Irwan, Mz Yayak, Pak Taka, Mz Birri, dan yang lain lah pokoknya… :p), Alm Mz Dedi S (semoga tenang di sana L), Siska Jufia P.(teman sebangku pas SMA), anak2 XeniX dan Twice, Nabila “Bee” (Si tomboy yang menjadi inspirasiku untuk menulis), anak2 PII Pamekasan (Mz Inol, Mbak Titik, Mz Arif, Mz Tommy, Denny, Arya, Qorin, Alif, Faisal, Mita, Meri, serta yang lainnya), PW PII Jatim (Mbak Rahma, Mbak Tika, Mbak Linda, Mz Chotieb, Mz Khaidar, dan kakak2 yang lain), dan semua orang yang kukenal selama ini.
Terima kasih pula pada sahabat-sahabatku di IPB : Lorong 3A Rusunawa (Alfi, Dian, Rina, Wulan, Leni si Bu Benlong, Silmi, Asih, kebanyakan neh kalo disebut semua :p), B.15 Friendship, Rohis 1516 (Zulfa, Nunu, Lena, Masyitah, Teki, Ridho, Arif, dll), pastinya juga anak-anak Gasisma (Dila, Dita, Utari, Ulfi, Risal, Syafi’i, Dian, Arif, Nova-Novi, Mz Ivan, Mz Sukirman, dan yang lainnya), Demush A4 dan KIA seluruhnya, Dewan Gedung A4 serta Asrama TPB IPB, serta para Senior Resident Asrama TPB IPB. Terima kasih atas pelajaran hidup yang telah kalian berikan padaku selama ini.
Yah, dua puluh tahun bukanlah waktu sebentar, tapi selama dua puluh tahun itu aku belum bisa menjadi apa-apa.Setidaknya aku ingin berubah dan bertekad untuk berusaha mengubah keburukan diri menjadi yang lebih baik.Dua puluh tahun aku hidup di dunia, kian hari kian berkurang jatah umurku.Di sisa waktu yang begitu pendek ini, yang tak tau kapan akhirnya, aku tahu Allah selalu berada di sampingku untuk senantiasa mencintai dan membimbingku untuk terus berjalan.Berjalan sesuai dengan rencana indah-Nya, karna Indah-Nya menantiku di ujung jalan sana. Di umurku yang ke-20 tahun ini semoga bisa menjadi awal untukku menjadi seseorang yang orangtuaku, sahabat-sahabatku serta aku sendiri inginkan.
Amin... ^^