Rabu, 02 November 2011

Makrab??? –antara benar dan salah-


Malam Keakraban Keluarga Mahasiswa Madura (Makrab Gasisma)

Ketika aku mulai menulis catatan ini, jam di laptopku menunjukkan pukul 01.24 Wib. Aku baru saja selesai mengikuti salah satu sesi yang diadakan, yaitu semacam diskusi dan sharing untuk menciptakan Gasisma yang lebih baik. Berbeda dengan tahun lalu yang hanya sharing dan malah menambah masalah dengan perselisihan antar angkatan, sesi malam ini cukup kondusif dan menambah banyak pengetahuan.
Bentuk acara yang diberikan tadi adalah diskusi kelompok menganalisis sebuah gambar. Setiap peserta dan panitia ikut dalam diskusi ini kecuali dua orang yang menjadi moderator dan notulen, yakni ketua Gasisma dan mantan ketua Gasisma tahun lalu. Nah, kami anggota Gasisma yang ikut makrab berjumlah sekitar 43 orang ditambah moderator dan notulen, dibagi menjadi lima kelompok. Kami diberi satu kertas yang berisi enam gambar. Format gambarnya yaitu logo gasisma sebagai center dan ada lima tanda panah yang keluar dari logo tersebut menuju lima gambar lainnya yaitu foto presiden SBY, logo IPB, gambar tanda tanya –positif-negatif (?+-), sekumpulan orang dengan berbagai macam karakter, lalu gambar yang terakhir adalah gambar peta madura yang diatasnya ada gambar karapan sapi. Nah kebetulan kelompokku kebagian untuk menganalisis gambar yang terakhir. Kalian semua udah pasti tau apa itu karapan sapi kan? Yap, karapan sapi adalah budaya madura yang sudah terkenal dimana-mana bahkan mancanegara. Budaya ini memang sangat identik dengan Madura yang juga terkenal dengan satenya, yah walaupun gak semua orang Madura itu jago nyate, hhe...
Nah, aku bocorin nih sedikit hasil analisis kelompokku perihal Logo Gasisma dengan tanda panah menuju peta madura dengan gambar karapan sapinya. Gasisma adalah sebuah perkumpulan mahasiswa madura (yang kami anggap keluarga) yang merantau jauh ke Bogor untuk menuntut ilmu. Analisis ini kami kerucutkan hanya dibidang budaya saja agar tidak meluas dan semakin tak jelas hasilnya. Sebagai mahasiswa Madura, maka sepantasnyalah kami harus tetap membudayakan budaya Madura meskipun kami jauh dari kampung halaman, bukannya malah terbawa arus budaya kota yang sangat bertolak belakang. Di Gasisma sendiri kita melihat bahwa kita masih sering menggunakan bahasa ibu kami yaitu bahasa Madura, meskipun masih bahasa kasar, setidaknya kami masih fasih ketika berbicara. Sekedar bahasa, kami belum bisa mempopulerkan kebudayaan yang lain seperti tari pecut, karapan sapi, sapi sono’, deelel. Karapan sapi memang sudah populer tanpa kami populerkan lagi, tapi hanya sebatas populer saja, tanpa tau sejarah dan tetek bengek lainnya perihal karapan sapi. Disinilah kepedulian mahasiswa Madura khususnya anak-anak Gasisma dipertanyakan. Kami kurang peduli untuk mempopulerkan berbagai kebudayaan Madura yang sebenarnya sangat bagus dan unik dan mempunyai ciri khas tersendiri tersebut.
Selain itu budaya juga mempersatukan empat wilayah yang ada di Madura yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Kami mengakui adanya perbedaan dari keempat kabupaten tersebut, tapi kami bersatu melalui Madura, karena ternyata banyak orang yang hanya mengenal madura tanpa mengenal keempat kabupatennya yang mempunyai ciri khas masing-masing. Nah, kami di Gasisma yang anggotanya juga terdiri dari masyarakat keempat kabupaten tersebut masih merasa adanya perbedaan-perbedaan tersebut. Istilah kelompokku tadi adalah “deskriminasi antar kabupaten”. Jadi menurut kami tak perlulah masing-masing dari kami menyombongkan prestasi kabupaten asalnya, karena sebenarnya kami adalah satu Madura. So, anak-anak Gasisma harus menghapuskan deskriminasi antar kabupaten tersebut. Setuju? :D
.
.
.
.
.
.
.
Nah akhirnya aku ngelanjutin lagi neh tulisan setelah sempat tertunda karna kemaren pas nulis, laptopnya dipinjam kakak kelas buat nonton film, alhasil akunya jadi ikutan nonton, hhe... :p
Kalo sebelumnya aku cerita tentang hasil diskusi kelompokku about Madura & Gasisma, sekarang aku ingin nulis tentang makrab dan fungsinya bagiku. Sebenarnya sih aku pengen nulis tema tentang makrab, tapi tak apalah sebelumnya aku berbagi cerita... Lets go about makrab... :)
Makrab bukanlah sesuatu yang asing didengar lagi bagi anak-anak IPB yang notabene tiap tahun mungkin akan mengalaminya, setidaknya ditingkat satu atau dua anak IPB pasti melakukan makrab. Baik itu makrab Omda –bagi yang punya Omda-, makrab kelas TPB, atau bahkan makrab departemen yang dianggap sebagai rangkaian kegiatan MPD yang harus dan wajib diikuti. (bahasaku gak baku banget ya?:p)
Bicara masalah makrab, khususnya makrab Gasisma yang baru saja aku ikuti ini menurutku cukup bagus dengan konten-konten acaranya yang mendidik. Selain diskusi kami juga melakukan senam pagi bareng, outbond disawah, dan menyusuri jalan yang cukup panjang untuk sampai di pemandian air panas. Oke, aku sebenarnya setuju dengan kegiatan positif seperti diskusi kelompok karena kegiatan seperti itu bermanfaat dan bisa membantu kita lebih intelek dalam melihat masalah dan mencari solusi akan masalah tersebut. Menambah keakraban antar anggota? Pasti. Senam dan outbond pun bisa dihitung olahraga yang bisa menyehatkan badan kita, ya nggak???
Tapi yang aku pertanyakan disini adalah kenapa ajang untuk melakukan hal-hal positif tersebut harus makrab? Malam keakraban? Kenapa harus malam coba, siang juga bisa kan??? Iyalah outbond pastinya siang.  Satu hal yang kurang aku setujui adalah diskusi tersebut harus malam bahkan hingga lewat tengah malam. Toh diskusi dari pagi sama aja kan, bahkan waktunya bisa lebih panjang dan bahasannya akan lebih luas dan lebih berbobot. Nah kalo malam? Waktunya mepet dan harus dipotong waktu tidur. Belum lagi kalo pesertanya pada ngantuk, gak bakal masuk tuh hasil diskusi ke otak mereka. Pasti mantul sebelum nyampe telinga. Selain itu, kalian juga pasti ngerti alasan kenapa aku tidak setuju adanya makrab ini. Yupz, karena pas malem saat tidur ada perempuan dan laki-laki dalam satu rumah. Kita tau kita udah dewasa dan udah tau yang mana yang benar dan mana yang salah, tapi coba ingat setan itu juga ada dimana-mana kan?
Hanya saja suaraku disini adalah bagian dari suara minoritas yang akhirnya tak bisa berkutik apa-apa. Aku mengikuti acara ini karena menurutku semakin aku tidak ikut, maka akan ada suara-suara sumbang yang tidak enak didengar dibelakang hari kemudian. Nah, aku juga ikut dengan alasan bahwa aku bukan siapa-siapa yang bisa memutuskan acara ini benar atau salah secara mutlak. Yah, aku hanya tak setuju dan berusaha menghilangkan, benar-benar menghilangkan, pikiran-pikiran negatif dari otakku. Setidaknya aku mengantisipasi diriku sendiri untuk mengantisipasi teman-temanku. (Kata-kataku ribet banget ya? Aneh lagi :D).
Dan saat perjalanan pulang dari pemandian air panas, seorang adik kelas 48, Faisal Rahman namanya, ia juga teman seperjuangan di PII saat SMA dulu. Dia bilang, “Kita sebagai muslim bukanlah hakim yang pantas menghakimi ini benar atau salah, kita sepantasnyalah menjadi penengah agar apa yang dilakukan menjadi benar bukan malah menjadi suatu kesalahan”. Begitu kira-kira kata-kata yang sebenarnya ia kutip dari Mentor atau Murobbinya, aku sedikit lupa. Tapi intinya adalah kita bukan hakim yang bisa mengatakan makrab ini benar atau salah selama tak disinggung di Al-Quran, Hadis, ataupun Ijma’. Kita seharusnya bisa ikut  menjadi penengah, membaur tapi tak melebur. Setuju sekali dengan adik yang satu itu. Ah, ada teman seperjuangan disini. :)
Akhirnya, inilah sedikit curhatan gaje dan mungkin sedikit tentang perdebatan hati selama ini tentang sebuah ajang yang bernama “malam keakraban”.
Tak benar dan juga tak sepenuhnya salah. Hanya bagaimana kita menyikapi dan menjalaninya secara benar. Tapi selama keakraban bisa dihadirkan tanpa ajang makrab, kenapa tidak??? :D
Makin ke belakang makin gaje n makin gak nyambung neh... Udahan aja ya :)

Catatan menuju tapak batas
...Cakrawala Biru...