Minggu, 15 Mei 2011

Keinginan itu mesti ditunda lagi...

Sudah cukup lama gak nulis lagi, heu...
Kemarin adalah hari terakhir pengumpulan karya cerpen untuk lomba dala Ekspresi Muslimah IPB, dan aku berniat ikutan. Tapi mungkin bukan waktunya aku mempersembahkan karyaku, cerpen yang aku buat ternyata tidak sesuai persyaratan karena ada kesalahpahaman dariku mengenai persyaratan itu... >.<

Ya sudahlah,,, meskipun begitu aku senang karena cerpen itu selesai juga...
meskipun aku tak tau bagus atau enggak... :-)

Selamat menikmati n jangan lupa kritikannya ya....


SEINDAH JALAN CINTA-NYA
Senja mulai pergi menjemput malam. Langit di ujung cakrawala kini tak lagi biru, ia telah memancarkan polesan warna jingga senja dalam balutan gradasi warna yang begitu indah. Paduan warna yang tergambar jelas dan nyata, memantapkan pesan kekuasaan-Nya. Awan berarak ceria mengantarkan sang raja siang ke peraduan dan menjemput bidadari malam yang kan menyinari bumi tuhan ketika gelap telah menyelimuti. Tiba-tiba seekor burung terbang melintas cepat bagai kilat menyambar. Sayapnya kokoh membentang, menantang desir angin yang menghalau. Matanya yang bundar menatap tajam kedepan. Tak takut pada apapun yang menghadang. Burung itu seolah menjadi pelengkap nuansa pemandangan alam sore ini.
Kumandang adzan mulai terdengar bertalu-talu dari beberapa masjid, pertanda malam segera menyelimuti alam. Panggilan Allah Sang Maha Pencipta membuatku bangkit, tak ingin lagi berlama-lama menunda pertemuan dengan-Nya. Mensyukuri segala nikmat yang telah tercurah. Termasuk nikmat memandang indahnya semesta alam sore ini. Karena aku tak tau kapan aku akan menghadap kepada-Nya, aku takut ketika aku dipanggil oleh-Nya, aku belum mempunyai bekal apa-apa. Sedang untuk menjawab seruannya saja, aku masih menunda. Aku tak mau hal itu terjadi padaku.
¶¶¶
“Harlan!”
Aku segera menoleh ketika mendengar namaku di panggil dari arah belakang. Terlihat Arya yang sedang berusaha mengejar langkahku.
“Dari mana?” Tanyanya setelah berhasil mensejajari langkahku.
“Dari masjid. Kamu sendiri dari mana kok mukanya kayak abis bangun tidur kayak gitu?” tanyaku setelah memperhatikan wajah Arya yang terlihat kucel dan berantakan.
“Aku dari kost kakak, tadi abis magrib ketiduran dan aku emang belum mandi. He…” Arya cengengesan. “Niatnya sih mau nginep disana, tapi berhubung aku ada tugas yang mesti dikumpulin besok dan tugasnya ada di asrama, yah akhirnya aku balik ke asrama deh.”
Jam di handphoneku menunjukkan pukul delapan malam, asrama terlihat lengang. Beberapa sedang berkumpul di pojok lobi, entah sedang mengerjakan apa, belajar atau mungkin sedang ada rapat. Aku dan Arya berlalu dari lobi menuju ke kamar kami di lorong tujuh lantai dua gedung ini. Begitu sampai di lorong, kami mendapati banyak anak yang sedang berkerumun di depan pintu kamar. Aku dan Arya saling pandang, sama-sama bingung karna tidak tau ada kejadian apa, seharian ini kami tidak berada di asrama. Aku segera mempercepat langkah menuju kamar, begitupun dengan Arya.
“Assalamu’alaikum”
“Waalaikumsalam,” anak yang berkerumun di depan kamar menoleh mendengar salam yang kami ucapkan. Setelah tahu bahwa kami yang datang, mereka segera memberi kami jalan untuk masuk ke kamar.
Setelah masuk, aku melihat Ares, teman sekamarku dan Arya, terbaring di atas tempat tidur. Di sampingnya ada Kak Subhan, kakak pendamping yang juga tinggal di asrama.
“Ares kenapa Kak?” Tanya Arya mendahuluiku.
“Tadi dia tiba-tiba pingsan saat kita sedang tilawah bersama di musholla. Dari tadi sebelum magrib, kakak melihat wajahnya pucat dan dia juga mengeluh punggungnya sakit. Kalian tau dia sakit apa?” Kak Subhan memandang kami berdua bergantian. Kami menggeleng.
Kami memang tidak tahu kalo Ares sedang sakit. Beberapa minggu ini Ares jadi sedikit pendiam dan tenggelam bersama pelajaran dan ibadah pada-Nya. Ia hampir tidak pernah meninggalkan shalat tahajud, shalat dhuha, puasa sunah, dan segala macam ibadah lainnya. Interaksi kami bertiga sebagai teman sekamarnya semakin jarang, selain karna kesibukan kami masing-masing, ia juga terkesan tidak mau membuang waktu untuk sejenak bersantai dan mengobrol bersama kami. Ia benar-benar tenggelam dan menikmati berbagai kesibukannya.
“Beberapa hari ini dia memang sedikit terlihat kurang bersemangat, wajahnya juga sering terlihat kuyu. Mungkin karena dia terlalu lelah dengan berbagai aktivitas yang ia jalani. Saat aku menasehatinya agar ia beristirahat dan meninggalkan kesibukannya kemarin, ia menolak dan tetap beraktivitas dengan alasan lelah adalah resiko dari setiap perjuangan. Malah ia berangkat dari pagi dan baru kembali ketika pintu gerbang asrama hampir ditutup lagi. Seharian ini kami tidak di asrama, jadi kami tidak tau bagaimana kondisi Ares.” Arya lagi-lagi mendahuluiku menjelaskan panjang lebar kondisi Ares pada Kak Subhan.
Kak Subhan lalu menoleh kepadaku, “ Lan, kamu kan punya motor, besok ajak Ares periksa ke dokter ya. Kalau dia gak mau, paksa aja, biar jelas dia sakit apa dan bisa segera di obati. Kabari Sakti juga jangan lupa.”
“Iya Kak, Insya Allah.”
“Ya sudah sekarang kakak keluar dulu, kalian jaga Ares ya. Tunggu sampai sadar.” Aku dan Arya mengangguk patuh. “Yang lain balik ke kamar masing-masing ya, lanjutin belajarnya. Jangan lupa do’ain Ares agar lekas sembuh.” Perintah Kak Subhan kemudian sembari berlalu dari kamarku. Satu-persatu anak meninggalkan aku dan Arya di kamar. Akhirnya kami hanya tinggal bertiga dengan Ares yang masih terbaring tak sadarkan diri.
“Kira-kira Ares kenapa ya, Lan?”
Aku hanya diam mendengar pertanyaan Arya barusan. Sebuah pertanyaan retorik yang tak memerlukan jawaban pasti
¶¶¶
Aku berjalan menyusuri lorong yang terasa sangat panjang, tapi ini bukan lorong asrama yang biasa aku lewati, lorong ini sangat terasa asing. Suasananya penuh dengan suasana kesedihan, kesakitan, ketersiksaan, dan penuh dengan kepiluan. Ya. Aku sedang berjalan di lorong rumah sakit. Seminggu yang lalu Ares akhirnya dirujuk ke rumah sakit saat keadaannya semakin mengkhawatirkan pasca pingsan malam itu.
Esoknya saat aku mengajaknya untuk memeriksakan diri ke dokter, ia bersikeras menolaknya. Aku tak bisa berbuat apa-apa karena pada dasarnya Ares adalah orang yang keras kepala dan tak bisa dipaksa bila tak menyukai sesuatu. Aku lihat dia juga sering mengkonsumsi obat-obatan. Entahlah obat apa yang ia konsumsi, saat aku tanya dia selalu mengelak dan hanya menjawab kalau itu hanyalah vitamin dan suplemen penambah tenaga. Tapi aku tak sebodoh itu dan percaya pada ucapannya begitu saja.
Diam-diam aku aku mengambil bungkus obat yang dia buang di tempat sampah kamar kami dan aku bawa ke poliklinik kampus. Saat aku memberikan bungkus obat itu kepada dokter, ia langsung bertanya, “Siapa yang mengkonsumsinya? Kamu?” Aku hanya bisa menggeleng dan menjelaskan bahwa itu adalah obat yang biasa dikonsumsi oleh seorang teman. Dokter itu lalu menjelaskan segalanya tentang obat itu dan penyakit yang membuat seseorang mengkonsumsi obat itu. Dan akupun akhirnya tahu apa penyakit yang diderita Ares dan selalu ia tutup-tutupi.
Dengan perasaan sedih bercampur kecewa, aku kembali ke asrama. Begitu tiba di gerbang aku melihat kerumunan anak penghuni asrama di depan pintu asrama. Di sana juga telah terparkir ambulan dengan keadaan siap berangkat. Tanpa berpikir panjang aku segera memarkir motor sembarangan di dekat pos satpam,lalu bergegas lari. Perasaanku tiba-tiba tidak enak, bayangan wajah Ares yang ceria dan kata-kata dokter tadi melayang-layang di otakku.
Dugaanku tak meleset, Ares pingsan lagi ketika baru tiba di lobi asrama. Kak Subhan segera menghubungi ambulan kampus untuk membawa Ares ke rumah sakit. Saat itu perasaanku sudah campur aduk, antara bingung, sedih, marah, dan kecewa. Kenapa semua ini harus terjadi pada Ares, sahabatku yang selalu ceria.
Perlahan aku membuka pintu kamar rawat Ares, suasananya sangat sepi. Arya dan Sakti yang kebagian bertugas menjagamalam tadi, tertidur pulas di sofa. Kelihatannya mereka kecapekan karna menjaga Ares semalaman. Aku membiarkan mereka berdua karna hari ini adalah hari libur kuliah,sehingga mereka tak perlu kembali cepat-cepat kembali ke asrama.
Lalu aku beralih pada sosok Ares yang sedang terbaring di ranjang. Wajahnya menampakkan rona kelelahan yang amat sangat, kepasrahan dan kesakitan. Badannya juga terlihat semakin kurus dari pada beberapa bulan yang lalu. Ia terlihat berbeda dengan Ares saat pertama kali aku kenal. Dulu ia begitu bersemangat dalam segala hal dan selalu ceria, kapanpun dan dimanapun. Diantara kami berempat, dia yang paling sehat karena selalu berolahraga setiap pagi sehabis sholat subuh. Entah hanya lari-lari kecil, push-up, sit-up, dan olahraga lainnya. Ia juga paling rapi diantara kami untuk urusan kamar dan penampilan. Dan ia juga paling rajin dalam urusan ibadah, organisasi, dan dakwah.
Mataku tiba-tiba panas, air mata ku tiba-tiba keluar tanpa diminta. Aku tak percaya, sosok yang terbaring lemah dihadapanku ini adalah Ares, sahabatku. Tapi aku bukan teman yang cengeng, aku tidak ingin memperlihatkan kesedihanku sehingga membuat Ares akan lebih sedih nantinya. Segera aku menghapus air mataku.
“Gak nyangka, ternyata seorang Harlan bisa nangis juga?” Dalam lirihan yang hampir tak terdengar, Ares menggodaku. Ia ternyata telah sadar. “Kenapa nangis? Aku kan gak kenapa-kenapa.”
Aku tesenyum dan mengelak, “Siapa yang nangis, aku kelilipan kok.”
Ares tertawa, tapi bukan seperti orang tertawa. Ia terlalu lemah untuk sekedar tertawa dan wajahnya tetap tampak kesakitan. Kami kembali terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Beberapa saat kemudian, aku mencoba memberanikan diri, menanyakan perihal penyakit yang dideritanya.
“Bang,” Panggilanku kepada Ares yang memang lebih tua dariku. Ares menolehkan kepalanya padaku.
“Kenapa Abang gak bilang kalo Abang mengidap kanker darah?” Ares terlihat bingung, mungkin tak mengira kalau aku tau tentang penyakitnya.
Ia berpaling dariku dan menatap plafon kamar. Dengan ekspresi tenang ia menjawab, “Buat apa, Lan? Penyakit kanker bukan sesuatu yang pantas di pamerkan.”
“Tapi bukan gitu juga caranya,Bang. Setidaknya abang ngasih tau ke aku, Arya, atau Sakti. Kita kan sahabat abang, bahkan aku anggap abang tuh saudara kandung aku sendiri. Apakah abang belum menganggap kita sahabat, jadi abang enggan cerita sama kita soal sakit abang itu?”
“Jangan ngaco kamu, Lan. Kalian sudah seperti pengganti keluarga bagiku. Tapi aku tidak ingin merepotkan kalian dengan penyakit aku ini. Lagi pula aku sudah pasrah dengan kehendak Allah padaku, Ia lebih tau apa yang terbaik untukku”
“Kalo kita emang keluarga, seharusnya jangan ada satupun rahasia di antara kita, Bang, apalagi ini masalah besar dan menyangkut jiwa." Aku mendesah pelan, “Kalo emang anggap aku saudara, ijinkan aku membantu abang untuk sembuh dari penyakit abang. Ijinkan aku untuk menjadi pendonor sumsum tulang belakang untuk abang.”
Ares terperanjat mendengar kata-kataku. Ia menggeleng cepat. “Jangan Lang, itu berbahaya, resikonya terlalu besar, aku gak mau terjadi apa-apa sama kamu.”
“Tapi Bang, itu satu-satunya cara agar abang bisa sembuh. Hanya donor sumsum tulang belakang satu-satunya cara untuk mengobati penyakit leukemia.” Aku bersikeras, tapi Ares tetap menggeleng tak setuju.
“Siapa yang sakit leukemia?” Sakti tiba-tiba berdiri di sampingku. Aku dan Ares terdiam, tak mampu menjawab.
¶¶¶
Setelah seminggu dirawat di rumah sakit, banyak teman-teman seasrama yang datang menjenguk, tak terkecuali Kak Subhan dan beberapa kakak pendamping asrama yang lain. Selain itu juga teman sekelas dan teman-teman satu organisasinya. Begitu banyak yang mengunjungi dan khawatir dengan keadaannya, menandakan bahwa Ares adalah seorang yang begitu disenangi oleh banyak orang. Sangat pantas memang. Bahkan dosen pun meluangkan waktu untuk menjenguknya.
Namun berkali-kali ditanya tentang penyakitnya, Ares diam seribu bahasa. Dia hanya berkata kalau dia sedang terlalu lelah dan sakit thypus biasa. Tapi beberapa dari teman-teman kurang percaya, hanya saja mereka tak bertanya lebih lanjut karna tak ingin ikut campur urusan pribadi Ares.
Sakti dan Arya akhirnya tahu tentang penyakit yang diderita Ares. Aku menceritakan semuanya ketika awalnya Sakti tak sengaja mendengar obrolanku dengan Ares tentang donor sumsum tulang belakang. Mereka berdua pun mendesak Ares agar mengijinkan mereka juga ikut tes darah. Ares bersikeras menolak, tapi ini sudah menjadi keputusan bulat dari kami bertiga. Sehingga tanpa sepengetahuannya, kami berkonsultasi dengan dokter dan akhirnya melakukan tes darah.
Saat ini adalah waktu hasil pemeriksaan keluar. Aku, Arya, dan Sakti kini berada diruang dokter, menunggu dengan harap-harap cemas. Tak berapa lama dokter datang membawa hasil tes darah kami. Ia lalu membagikannya kepada kami.
“Setelah tes, ternyata kadarkecocokan kalian bertiga sama-sama lebih dari 50%, saya menyarankan agar saudara Harlan yang menjadi donor, karena tingkat kecocokan saudara dengan pasien paling tinggi, yakni hampir 85% sehingga akan mengurangi resiko pada pasien, asalkan kondisi saudara Harlan juga sehat. Saya heran, kalian bukan saudara atau keluarga dari pasien, tapi tingkat kecocokan kalian sangat tinggi.”
Arya dan Sakti menoleh padaku, aku mengerti apa yang ingin mereka tanyakan. Aku tersenyum, tak pernah aku merasa sebahagia ini sebelumnya. “Dokter salah, kami memang bukan keluarga kandung Abang Ares, tapi kami adalah sahabat, bahkan melebihi saudara. Kami memamg tidak punya ikatan drarah, tapi hati kami telah terpaut dan tak bisa dipisahkan. Dokter percaya kekuatan cinta kan? Itulah kenapa tingkat kecocokan kami tinggi, karena kekuatan cinta antara kami,dan Allah tau bahwa kami adalah orang yang tepat untuk membantu Abang untuk sembuh dari penyakitnya.”
Dokter tersenyum mendengar jawabanku. Mungkin baru kali ini ia bertemu dengan seorang donor sumsum tulang belakang seperti aku yang bahagia mendengar bahwa ia bisa jadi donor bagi pasien.
“Saya siap menjalankan operasi transplantasi itu, Dok.” Aku semakin memantapkan keyakinan pada dokter, dan juga pada hatiku sendiri, meskipun aku belum tau bagaimana reaksi orang tuaku ats keputusan ini. Tapi aku takingin menyia-nyiakan kesempatan untuk membantu saudara aku sendiri.
Arya dan Sakti langsung memelukku, aku tak tau perasaan mereka saat ini. Mungkin senang karena Ares mendapatkan donor sehingga ia bisa sembuh dari penyakitnya. Mungkin juga sedih karena mereka tau sebesar apa resiko menjadi pendonor sumsum tulang belakang. Tapi hatiku kini sudah mantap, seolah kemantapan hati ini datang langsung dari-Nya. Biar hanya ia yang menentukan apa yang terjadi selanjutnya. Ia yang Mahatahu apa yang terbaik untukku dan untuk Ares.
¶¶¶
Ketika mendengar keputusanku menjadi donor sumsum tulang belakan untuk Ares, Bunda seketika itu langsung menolak. Ayah hanya diam. Aku memberikan berbagai argument yang menguatkan bahwa operasi itu tidak berbahaya. Selain itu, hal ini adalah momen terbaik untuk aku menjadi seorangyang bermanfaat bagi orang lain.Ayah seakan mengerti apa yang aku mau, ia setuju dengan keputusanku. Ia merasa bahwa aku sudah dewasa dan mampu untuk membuat keputusan sendiri. Dengan berbagai cara, aku dan ayah meyakinkan bunda. Dengan sedikit aksi diam pada bunda selama dua hari, akhirnya bunda juga menyetujui keputusanku.
“Bunda bangga sama kamu, Nak. Meskipun bunda takut, tapi bunda akan berusaha untuk ikhlas agar tujuan muliamu itu berakhir dengan indah. Bunda hanya bisa bertawakkal pada Allah.”
Dan disinilah aku sekarang, terbaring di ranjang ruang operasi. Ares memandangku penuh dengan penuh kekhawatiran. Namun aku selalu membalas dengan senyuman ketenangan, karna hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini, mencoba untuk selalu tenang dan pasrah.
Awalnya Ares tidak mau melakukan operasi ini, tapi dengan berbagai bujukan dariku, dari Arya dan Sakti, dari orang tuanya yang ada di Sulawesi sana, serta dukungan dana dari teman-teman semua, ia akhirnya mau.
“Aku gak tau mesti bilang apa sama kalian, terutama sama kamu, Lan. kalian telah mengorbankan segalanya hanya demi aku yang bukan siapa-siapa.” Ucapnya saat itu sambil meneteska air mata.
“Kita saudara kan, Bang?” jawabku sambil tersenyum. “Itulah gunanya sahabat, Bang, tidak hanya berbagi di saat bahagia, tetapi juga saling berbagi di saat susah seperti ini.”
“Iya Res, kamu gak usah sungkan-sungkan gitu sama kita.” Tambah Sakti. Ares tersenyum penuh rasa terima kasih.
Tirai pembatas antara aku dan Ares di tutup. Operasi akan segera di mulai. Dokter lalu menyuruhku untuk mengubah posisi menjadi tengkurap dan menyuntikkan sesuatu padaku. Entahlah, mungkin obat bius, karena tak lama setelah itu mataku mulai terasa berat dan akhirnya semua menjadi gelap.
¶¶¶
Tanah itu masih basah, diatasnya ditaburi segala jenis bunga yang semerbak. Arya dan Sakti membawaku ke samping makam itu, makam sahabat terbaik kami. Sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Mataku terasa panas, tapi air mata ini tak boleh keluar.
“Harlan dipanggil oleh-Nya beberapa jam setelah operasi dilakukan. Ia sempat sadar dan mengatakan bahwa ia bahagia bisa memberikan sesuatu yang berharga untuk kamu. Tak lama kemudian kondisinya drop dan akhirnya napasnya terhenti. Ia pergi dengan senyuman Res.” Kata Arya saat itu, saat aku sadar, sehari setelah kepergian Harlan.
Saat aku mulai membaik pasca operasi, aku memaksa Arya serta Sakti mengantarkanku ke makam Harlan. Dan saat ini aku duduk disini, disamping nisan bertuliskan nama Harlan Ferdinand. Aku tak tau harus berbuat apa, aku hanya bisa memanjatkan do’a agar ia mendapatkan yang terbaik di sisi-Nya.
‘Aku berjanji, Lan. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan hidup dari-Nya melalui kau sebagai perantara-Nya. Ini akan terasa lebih mudah karna kau akan selalu bersamaku disetiap nafas dan perjalananku. Aku juga berjanji akan menggantikan kau menjaga kedua orang tuamu, meghormati mereka seperti orang tuaku sendiri, dan akan selalu bangga pada mereka karna memiliki anak sepertimu. Terima kasih Harlan, terima kasih saudaraku.”
Arya dan Sakti menuntunku meninggalkan nisan kaku di atas tanah basah itu, kami meninggalkan makam Harlan dengan sejuta kesedihan dan harapan. Tapi kami tak akan pernah meninggalkan Harlan, karna bagi kami ia masih hidup, ia akan selalu hidup di hati kami, selamanya.