Malam Keakraban Keluarga Mahasiswa Madura (Makrab Gasisma)
Ketika aku mulai menulis catatan ini, jam di laptopku
menunjukkan pukul 01.24 Wib. Aku baru saja selesai mengikuti salah satu sesi
yang diadakan, yaitu semacam diskusi dan sharing untuk menciptakan Gasisma yang
lebih baik. Berbeda dengan tahun lalu yang hanya sharing dan malah menambah
masalah dengan perselisihan antar angkatan, sesi malam ini cukup kondusif dan
menambah banyak pengetahuan.
Bentuk acara yang diberikan tadi adalah diskusi kelompok
menganalisis sebuah gambar. Setiap peserta dan panitia ikut dalam diskusi ini
kecuali dua orang yang menjadi moderator dan notulen, yakni ketua Gasisma dan
mantan ketua Gasisma tahun lalu. Nah, kami anggota Gasisma yang ikut makrab
berjumlah sekitar 43 orang ditambah moderator dan notulen, dibagi menjadi lima
kelompok. Kami diberi satu kertas yang berisi enam gambar. Format gambarnya
yaitu logo gasisma sebagai center dan
ada lima tanda panah yang keluar dari logo tersebut menuju lima gambar lainnya
yaitu foto presiden SBY, logo IPB, gambar tanda tanya –positif-negatif (?+-),
sekumpulan orang dengan berbagai macam karakter, lalu gambar yang terakhir
adalah gambar peta madura yang diatasnya ada gambar karapan sapi. Nah kebetulan
kelompokku kebagian untuk menganalisis gambar yang terakhir. Kalian semua udah
pasti tau apa itu karapan sapi kan? Yap, karapan sapi adalah budaya madura yang
sudah terkenal dimana-mana bahkan mancanegara. Budaya ini memang sangat identik
dengan Madura yang juga terkenal dengan satenya, yah walaupun gak semua orang
Madura itu jago nyate, hhe...
Nah, aku bocorin nih sedikit hasil analisis kelompokku
perihal Logo Gasisma dengan tanda panah menuju peta madura dengan gambar
karapan sapinya. Gasisma adalah sebuah perkumpulan mahasiswa madura (yang kami
anggap keluarga) yang merantau jauh ke Bogor untuk menuntut ilmu. Analisis ini
kami kerucutkan hanya dibidang budaya saja agar tidak meluas dan semakin tak
jelas hasilnya. Sebagai mahasiswa Madura, maka sepantasnyalah kami harus tetap
membudayakan budaya Madura meskipun kami jauh dari kampung halaman, bukannya
malah terbawa arus budaya kota yang sangat bertolak belakang. Di Gasisma
sendiri kita melihat bahwa kita masih sering menggunakan bahasa ibu kami yaitu
bahasa Madura, meskipun masih bahasa kasar, setidaknya kami masih fasih ketika
berbicara. Sekedar bahasa, kami belum bisa mempopulerkan kebudayaan yang lain
seperti tari pecut, karapan sapi, sapi sono’, deelel. Karapan sapi memang sudah
populer tanpa kami populerkan lagi, tapi hanya sebatas populer saja, tanpa tau
sejarah dan tetek bengek lainnya perihal karapan sapi. Disinilah kepedulian
mahasiswa Madura khususnya anak-anak Gasisma dipertanyakan. Kami kurang peduli
untuk mempopulerkan berbagai kebudayaan Madura yang sebenarnya sangat bagus dan
unik dan mempunyai ciri khas tersendiri tersebut.
Selain itu budaya juga mempersatukan empat wilayah yang ada
di Madura yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Kami mengakui
adanya perbedaan dari keempat kabupaten tersebut, tapi kami bersatu melalui
Madura, karena ternyata banyak orang yang hanya mengenal madura tanpa mengenal
keempat kabupatennya yang mempunyai ciri khas masing-masing. Nah, kami di
Gasisma yang anggotanya juga terdiri dari masyarakat keempat kabupaten tersebut
masih merasa adanya perbedaan-perbedaan tersebut. Istilah kelompokku tadi
adalah “deskriminasi antar kabupaten”. Jadi menurut kami tak perlulah
masing-masing dari kami menyombongkan prestasi kabupaten asalnya, karena
sebenarnya kami adalah satu Madura. So, anak-anak Gasisma harus menghapuskan
deskriminasi antar kabupaten tersebut. Setuju? :D
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Nah akhirnya aku ngelanjutin lagi neh tulisan setelah sempat
tertunda karna kemaren pas nulis, laptopnya dipinjam kakak kelas buat nonton
film, alhasil akunya jadi ikutan nonton, hhe... :p
Kalo sebelumnya aku cerita tentang hasil diskusi kelompokku
about Madura & Gasisma, sekarang aku ingin nulis tentang makrab dan
fungsinya bagiku. Sebenarnya sih aku pengen nulis tema tentang makrab, tapi tak
apalah sebelumnya aku berbagi cerita... Lets go about makrab... :)
Makrab bukanlah sesuatu yang asing didengar lagi bagi
anak-anak IPB yang notabene tiap tahun mungkin akan mengalaminya, setidaknya
ditingkat satu atau dua anak IPB pasti melakukan makrab. Baik itu makrab Omda
–bagi yang punya Omda-, makrab kelas TPB, atau bahkan makrab departemen yang
dianggap sebagai rangkaian kegiatan MPD yang harus dan wajib diikuti. (bahasaku
gak baku banget ya?:p)
Bicara masalah makrab, khususnya makrab Gasisma yang baru saja
aku ikuti ini menurutku cukup bagus dengan konten-konten acaranya yang
mendidik. Selain diskusi kami juga melakukan senam pagi bareng, outbond
disawah, dan menyusuri jalan yang cukup panjang untuk sampai di pemandian air
panas. Oke, aku sebenarnya setuju dengan kegiatan positif seperti diskusi kelompok
karena kegiatan seperti itu bermanfaat dan bisa membantu kita lebih intelek
dalam melihat masalah dan mencari solusi akan masalah tersebut. Menambah
keakraban antar anggota? Pasti. Senam dan outbond pun bisa dihitung olahraga
yang bisa menyehatkan badan kita, ya nggak???
Tapi yang aku pertanyakan disini adalah kenapa ajang untuk
melakukan hal-hal positif tersebut harus makrab? Malam keakraban? Kenapa harus
malam coba, siang juga bisa kan??? Iyalah outbond pastinya siang. Satu hal yang kurang aku setujui adalah
diskusi tersebut harus malam bahkan hingga lewat tengah malam. Toh diskusi dari
pagi sama aja kan, bahkan waktunya bisa lebih panjang dan bahasannya akan lebih
luas dan lebih berbobot. Nah kalo malam? Waktunya mepet dan harus dipotong
waktu tidur. Belum lagi kalo pesertanya pada ngantuk, gak bakal masuk tuh hasil
diskusi ke otak mereka. Pasti mantul sebelum nyampe telinga. Selain itu, kalian
juga pasti ngerti alasan kenapa aku tidak setuju adanya makrab ini. Yupz,
karena pas malem saat tidur ada perempuan dan laki-laki dalam satu rumah. Kita
tau kita udah dewasa dan udah tau yang mana yang benar dan mana yang salah,
tapi coba ingat setan itu juga ada dimana-mana kan?
Hanya saja suaraku disini adalah bagian dari suara minoritas
yang akhirnya tak bisa berkutik apa-apa. Aku mengikuti acara ini karena
menurutku semakin aku tidak ikut, maka akan ada suara-suara sumbang yang tidak
enak didengar dibelakang hari kemudian. Nah, aku juga ikut dengan alasan bahwa aku
bukan siapa-siapa yang bisa memutuskan acara ini benar atau salah secara
mutlak. Yah, aku hanya tak setuju dan berusaha menghilangkan, benar-benar
menghilangkan, pikiran-pikiran negatif dari otakku. Setidaknya aku
mengantisipasi diriku sendiri untuk mengantisipasi teman-temanku. (Kata-kataku
ribet banget ya? Aneh lagi :D).
Dan saat perjalanan pulang dari pemandian air panas, seorang
adik kelas 48, Faisal Rahman namanya, ia juga teman seperjuangan di PII saat
SMA dulu. Dia bilang, “Kita sebagai muslim bukanlah hakim yang pantas
menghakimi ini benar atau salah, kita sepantasnyalah menjadi penengah agar apa
yang dilakukan menjadi benar bukan malah menjadi suatu kesalahan”. Begitu
kira-kira kata-kata yang sebenarnya ia kutip dari Mentor atau Murobbinya, aku sedikit
lupa. Tapi intinya adalah kita bukan hakim yang bisa mengatakan makrab ini
benar atau salah selama tak disinggung di Al-Quran, Hadis, ataupun Ijma’. Kita
seharusnya bisa ikut menjadi penengah,
membaur tapi tak melebur. Setuju sekali dengan adik yang satu itu. Ah, ada
teman seperjuangan disini. :)
Akhirnya, inilah sedikit curhatan gaje dan mungkin sedikit
tentang perdebatan hati selama ini tentang sebuah ajang yang bernama “malam
keakraban”.
Tak benar dan juga tak sepenuhnya salah. Hanya bagaimana kita
menyikapi dan menjalaninya secara benar. Tapi selama keakraban bisa dihadirkan
tanpa ajang makrab, kenapa tidak??? :D
Makin ke belakang makin gaje n makin gak nyambung neh...
Udahan aja ya :)
...Cakrawala Biru...
0 komentar:
Posting Komentar