Rabu, 29 April 2015
Emansipasi atau Ironi
"Ibu kita Kartini, Putri sejati.."
Terdengar bait pertama lagu Ibu Kartini yang di senandungkan oleh anakku di kamarnya. Ia begitu senang, besok tanggal 21 April akan ada pementasan drama di sekolahnya dan dia berperan sebagai Kartini. Dengan antusias kemarin dia bilang akan menyanyikan lagu Ibu Kartini di akhir pementasan...
Kartini, salah satu ibu bangsa yang namanya masih harum hingga kini. Ia adalah pahlawan bagi kaumnya, begitu kata para sejarawan. Perjuangannya adalah sebuah bentuk perjuangan yang berbeda dari Cut Nyak Dien atau pahlawan wanita lainnya. Perjuangannya adalah cita-cita yang terpendam dalam semangatnya, semangat yang terpasung karna statusnya sebagai seorang wanita. Dahulu, wanita pada umumnya hanya dikenal untuk tiga urusan, yakni urusan sumur, dapur, dan kasur. Apatah lagi budaya jawa, yang membedakan jauh strata seorang wanita dengan lelaki yang dianggap lebih dalam segala hal.
Namun, semangat yang terpasung itu tak pudar walau terkungkung sempitnya kamar. Ia menuliskannya pada selembar kertas, melukiskannya dalam coretan-coretan cerita, agar semangatnya tak padam seperti unggun tang tersiram hujan. Ia kirimkan surat-surat itu kepada teman-temannya yang ia kenal dalam keterbatasan hidupnya dalam sebuah keraton. Tak ada yang menyangkan, bahkan mungkin dia sendiri tak menyangka, kalo kelak lukisan semangatnya itu begitu menginspirasi banyak orang. Cita-citanya yang sederhana ternyata membuat perubahan yang begitu hebat, bukan hanya untuk wanita Indonesia saja, bahkan mungkin juga para wanita di dunia..
Ah, lantas kini inspirasi itu menjadi sebuah ironi. Di saat cita-cita Kartini untuk bersekolah, menuntut ilmu sebanyak-banyaknya serta tak hanya terkungkung dalam kamar saja, terbuka sebebasnya dan diwujudkan oleh para wanita yang menjadi penerusnya. Namun, di saat itulah teriakan emansipasi yang mengatasnamakan Kartini di kobarkan. Entah emansipasi apa lagi yang belum terwujudkan sesuai dengan cita-cita seorang Ibu Kartini. Aku sendiri tidak mengerti. Kini, begitu banyak wanita yang melupakan kondrat sebagai seorang wanita, menjadi seorang anak, istri, ibu. Mereka lupa bahwa sedemikian besar cita-cita Ibu Kartini untuk menuntut ilmu, ia tak pernah melupakan perannya sebagai seorang ibu. Memang tak bisa di elakkan, walau di jaman modern saat ini, seorang wanita akan selalu dikenal dengan tiga urusan, yakni urusan sumur, dapur, dan kasur, namun anggapan keduanya tak lagi sama, karna ia memiliki paradigma berbeda, salah satunya karna semangat Ibu Kartini yang membuat perubahan paradigma itu.
Ironi. Seandainya tak ada Ibu Kartini, wanita akan terus meneriakkan emansipasi, meskipun tak mengatasnamakan Kartini.
Wahai Ibu Kartini, Kau putri sejati, yang mempunyai cita-cita dibarengi cinta sejati. Tapi maafkanlah kami, yang menjadikan cita-citamu menjadi tameng keegoisan hati ini.
Masih terdengar lantunan lagu di dalam kamar, sepertinya anakku masih bersemangat bernyanyi untuk pementadan drama besok.
"Wahai ibu kita Kartini, putri yang mulia..
Sungguh besar cita-citanya untuk Indonesia.."
#MalamtantanganOWOP
21.04.2014 23.55 wib
_birucakrawala
Tak apalah meski terlambat posting, yang penting blog ini ada isinya, hehe... Alhamdulillah, kembali menulis -walau tetap gak jelas apa tulisannya- meskipun harus dipaksa :)
Selasa, 28 April 2015
Ujian, katanya...
Hidup itu pilihan, katanya sih begitu
Lalu bisa ku bilang hidup itu ujian, kau tau
Memilih di antara banyak jawaban yang tercecer
Benar salah, suka duka, susah senang, baik jahat, apapunlah itu
Bukankah itu ujian hingga kita menentukan pilihan kita?
Lalu bisa ku bilang hidup itu ujian, kau tau
Memilih di antara banyak jawaban yang tercecer
Benar salah, suka duka, susah senang, baik jahat, apapunlah itu
Bukankah itu ujian hingga kita menentukan pilihan kita?
Bagimu ujian itu adalah saat kau duduk tegang menghadapi lembaran kertas soal berbekal pena...
Namun bagiku, ujian itu adalah saat aku tersenyum menerima lembar jawaban dengan nilai A.
Kau tahu, nilai A itu sebuah tanggung jawab. Bukankah itu berarti ujian yang lebih besar baru saja datang padaku?
Namun bagiku, ujian itu adalah saat aku tersenyum menerima lembar jawaban dengan nilai A.
Kau tahu, nilai A itu sebuah tanggung jawab. Bukankah itu berarti ujian yang lebih besar baru saja datang padaku?
Bagimu ujian itu adalah saat sedih dan pedih mendera, ditinggal orang-orang yang kau cinta...
Namun bagiku, ujian itu adalah saat bahagia bersama orang-orang yang ku cinta. Kau tahu adalah tanggung jawabku membuat orang-orang yang ku cinta lebih bahagia dari kebahagiaanku. Bukankah ujian selalu bertambah seiring kebahagiaanku membuncah?
Namun bagiku, ujian itu adalah saat bahagia bersama orang-orang yang ku cinta. Kau tahu adalah tanggung jawabku membuat orang-orang yang ku cinta lebih bahagia dari kebahagiaanku. Bukankah ujian selalu bertambah seiring kebahagiaanku membuncah?
Bagimu ujian itu di saat masa-masa papa yang melanda, membuatmu merasa tak berguna...
Namun bagiku, harta berlebih justru menjadi ujian terberat yang kuhadapi. Entah aku sadar atau tidak, saat aku mendapatkan sesuatu, maka aku telah mengambil sesuatu dari orang lain. Bukankah berbagi itu terasa memberatkan?
Namun bagiku, harta berlebih justru menjadi ujian terberat yang kuhadapi. Entah aku sadar atau tidak, saat aku mendapatkan sesuatu, maka aku telah mengambil sesuatu dari orang lain. Bukankah berbagi itu terasa memberatkan?
Bagimu ujian itu saat kau merasakan Tuhan melupakanmu,
meninggalkanmu, menghempasmu. Bagiku kau hanya seorang pengecut yang tak
mengerti bedanya ujian dan keserakahan. Selalu menyalahkan keadaan dan
tak pandai berucap syukur. Padahal kau selalu tau, Tuhan selalu
mengawasimu...
Katanya kita diuji agar kita naik kelas, bukankah begitu?
Ujian-ujian itu datang silih berganti.
Ujian-ujian itu datang silih berganti.
Saat diam atau begerak.
Saat
tersadar atau terlupa.
Saat nyata atau hanya ilusi yang menyesatkan.
Ujian yang tak pernah berganti saat kita belum mampu melaluinya dengan baik...
Ujian yang tak pernah berganti saat kita belum mampu melaluinya dengan baik...
Ah, ini untukku dan untukkmu.
Agar bersama kita paham, ujian itu pun adalah ujian...
Memilih antara melalui ujian hingga lulus ataukah terjebak dalam ujian tak berkesudahan...
Pilihan itupun sebuah ujian...
Agar bersama kita paham, ujian itu pun adalah ujian...
Memilih antara melalui ujian hingga lulus ataukah terjebak dalam ujian tak berkesudahan...
Pilihan itupun sebuah ujian...
23.17
28.04.2015
#malamtantanganOWOP
tapak batas _birucakrawala
#malamtantanganOWOP
tapak batas _birucakrawala
Selasa, 17 Februari 2015
#1 Tentang Cinta
Cinta, sebuah kata universal yang memiliki beragam makna bagi setiap insan yang memilikinya. Cinta itu bukan hanya sebuah rasa tapi pula sebuah tindakan dan do’a. Tak berguna kau cinta pada orang tuamu tapi kau malah menjadi anak yang tak bermanfaat bagi mereka dan seringkali mengecewakan mereka. Tak berguna kau cinta pada alammu jika kau hanya diam melihat berbagai fenomena pengrusakan alam tanpa sebuah tindakan penanggulangan dari dirimu. Tak berguna kau cinta sahabat-sahabatmu jika kau hanya bisa berdiam diri saat mereka dilanda kesedihan dan kesusahan, juga tak ikut bahagia disaat mereka bahagia. Tak berguna cinta itu jika kau hanya menyimpannya dalam hati yang paling dalam tanpa ada usaha, tindakan, dan do’a yang kau panjatkan pada Sang Mahacinta untuk mereka yang kau cintai.
Cinta
itu sederhana.
Sesederhana
kau mencium tangan orang tuamu saat keluar rumah dan senantiasa belajar untuk
meraih prestasi seperti yang diimpikan oleh mereka.
Cinta
itu sederhana.
Sesederhana
kau memungut sampah ditengah jalan lalu membuangnya ditempat sampah dan
menggunakan alam secukup kau memerlukannya.
Cinta
itu sederhana.
Sesederhana
saat kau ikut tersenyum saat sahabatmu mendapatkan bahagia dan senantiasa
menjadi pendamping di kala sahabatmu ditimpa kesusahan, walau hanya sekedar
lewat telepon atau pesan elektronik.
Cinta
itu sederhana, namun karena kesederhanaan cinta, ia menjadi suatu hal yang
paling krusial dalam hidup manusia. Tanpa cinta, hidup manusia jelas akan
terasa hampa. Karena manusia itu sendiri ada karena cinta-Nya yang begitu
menggelora.
Dan
cinta yang ada dalam hati setiap manusia itu tak berguna jika tak ada cinta
bagi Sang Mahacinta, Allah Swt.
#renungan
Tentang cinta, aku belajar dari banyak
orang bagaimana mereka mengaplikasikan kecintaan mereka terhadap suatu hal.
Bagaimana hidup terasa begitu mudah karena mereka hidup dengan cinta, tanpa
rasa iri dan dengki, tanpa adanya prasangka yang tak tentu kebenarannya.
Terkadang banyak orang yang mengaku dirinya adalah seorang pecinta, tapi pada
kenyataannya mereka tak benar-benar paham hakikat cinta itu sendiri. Karena
seseorang yang benar pecinta, ia takkan mengumbar kecintaannya dengan
kata-kata, ia kan menebar cintanya dengan tindakan dan do’a.
Seseorang yang memberiku banyak pelajaran
tentang cinta. Cinta dalam sebuah ikatan ukhuwah, ikatan persahabatan. Dia yang
setia menemaniku malam-malam hanya untuk menjemur pakaian di lantai atas gedung
asrama. Dia yang sering kali menenangkan dan membesarkan hatiku disaat aku
sedang galau dan gelisah atau disaat aku mengeluh karena kegagalan dan
kecerobohanku. Dia yang tak bosan mendengar cerita-ceritaku yang seolah tiada
habisnya. Dia yang selalu memberi pertolongan di saat aku membutuhkan. Dia yang
mau menemaniku jalan-jalan atau sekedar makan bersama di saat aku mulai jenuh
dengan rutinitas kehidupan. Dia yang mengejarku dari Bogor hingga ke Jakarta
hanya untuk memberikan kado milad untukku. Dia yang selalu memahami perasaan
dan pikiranku. Dia mengajariku cinta yang luar biasa. Cinta itu benar ada dalam
hatinya. Ia melakukan semua dengan cinta, pada siapapun, kapanpun, dan
dimanapun selagi ia bisa. Dan cinta itu ada karena kecintaannya pada Rabbnya.
“Cinta itu sederhana, namun tak ada manusia yang memilikinya dengan sempurna.”
Thanks for love,
-ya-
Langganan:
Postingan (Atom)